Selamat datang di ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA), satu era yang membuat sebagian besar pebisnis Indonesia merasa terancam. Mengapa? Bukankah produk Cina sudah lama masuk?
Benar. Sebenarnya, dari dulu produk Cina yang terkenal murah sudah membuat pebisnis lokal ketar-ketir. Namun karena ACFTA, Januari ini, 83% dari 8.738 produk impor Cina bebas masuk ke pasar Indonesia tanpa dikenai bea masuk. Wajarlah terjadi kecemasan lantaran dulu pun telah membawa dampak, apalagi sekarang yang tanpa bea masuk.
Sedikit pengantar tentang latar belakang ACFTA dan pengartian ACFTA itu sendiri
Globalisasi diharapkan membawa proses sosial dan ekonomi yang alamiah, yang membawa negara dari berbagai penjuru dunia berada dalam satu ikatan yang semakin kuat untuk mewujudkan sebuah tatanan kehidupan baru, dalam kesatuan ko-eksistensi yang menghapus batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat dunia, sehingga terdapat perekonomian yang efisien dan berimbang. Dengan globalisasi, diharapkan adanya:
1. Kesamaan pandang dan prinsip: the same level of playing field: standarisasi, kompetensi, regulasi.
2. Liberalisasi dan integrasi perekonomian (borderless world).
3. Pengurangan proteksi ekonomi domestik.
4. Akses Pasar dan kerjasama terbuka luas: ACFTA (Asean-China Free Trade Agreement).
5. Peningkatan volume perdagangan produk unggulan setiap negara.
6. Benchmarking dan tuntutan stakeholder (regulator, investor, konsumen, rating agency, manajemen dan karyawan perusahaan), agar negara dan produsen mengikuti praktek terbaik dari global market.
7. Perubahan pesat bidang teknologi, sistem informasi, dan komunikasi: Perubahan pesat ini akan merubah cara berbisnis, menjadi IT driven Business, seperti: E-Banking, I-Banking, Everywhere-Banking. Adanya tekanan bagi Bank untuk menciptakan inovasi produk keuangan, seperti derivatives dan Bankassurance. Juga diperlukan kecepatan, keamanan dan kenyamanan bisnis memanfaatkan saluran elektronik (high tech dan high touch)
8. Meningkatnya systemic risks.
Terjadi kecenderungan perubahan dari Second Wave ke Third Wave (Alfin Tofler), yang dicirikan oleh:
1. Sifat organisasi : hierarchy menjadi lebih flat, mengutamakan networking, lebih fleksibel, dan organisasi diharapkan lebih mudah beradaptasi agar bisa mengikuti perubahan
2. Apa yang sebelumnya mengejar market share menjadi berupaya ke arah market creation.
3. Empowerment.
4. Kesuksesan perusahaan : visi, misi dan value. creation, gaya kepemimpinan yang visioner.
5. Kualitas produk dan layanan yang prima menjadi prioritas.
6. Orientasi karyawan: dari job security > personal growth.
7. Kekuatan perusahaan dari penumpukan cash ke penguasaan informasi.
8. Sikap karyawan dari risk aversion menjadi risk prone.
Apakah Arti ACFTA itu sendiri?
Kesepakatan pembentukan perdagangan bebas ACFTA diawali oleh kesepakatan para peserta ASEAN-China Summit di Brunei Darussalam pada November 2001. Hal tersebut diikuti dengan penandatanganan Naskah Kerangka Kerjasama Ekonomi (The Framework Agreement on A Comprehensive Economic Cooperation) oleh para peserta ASEAN-China Summit di Pnom Penh pada November 2002, dimana naskah ini menjadi landasan bagi pembentukan ACFTA dalam 10 tahun dengan suatu fleksibilitas diberikan kepada negara tertentu seperi Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam.
Pada bulan November 2004, peserta ASEAN-China Summit menandatangani Naskah Perjanjian Perdagangan Barang (The Framework Agreement on Trade in Goods) yang berlaku pada 1 Juli 2005. Berdasarkan perjanjian ini negara ASEAN 5 (Indonesia, Thailand, Singapura, Philipina, Malaysia) dan China sepakat untuk menghilangkan 90% komoditas pada tahun 2010. Untuk negara ASEAN lainnya pemberlakuan kesepakatan dapat ditunda hingga 2015. Pemberlakuan perjanjian perdagangan bebas antara ASEAN-6 dengan RR China yang dimulai pada 1 Januari 2010 membuat banyak pihak terperangah, walaupun sebetulnya kesepakatan ini telah ditandatangani lama. Masyarakat belum memahami apa manfaat, ancaman maupun konsekuensi dari pemberlakuan ACFTA ini. Namun demikian, karena ini telah disepakati, ada baiknya kita lebih mengenal dan memahami, sehingga dapat melakukan langkah-langkah strategis yang diperlukan.
Pertanyaannya: mengapa produk Cina berharga murah dan semakin bagus kualitasnya?
Kenali lawanmu dan kenali dirimu. Untuk mengenal lawan, amati sisi technical dan sisi human social-nya. Kita lihat sisi teknis. Pertama, Cina unggul di 12 faktor kompetisi bisnis (GCI Cina di 29, Indonesia di 54). Kecuali faktor efisiensi pasar barang dan jasa, Cina menang telak di faktor sistem birokrasi yang cepat-tepat, infrastruktur, stabilitas ekonomi, inovasi bisnis, efisiensi tenaga kerja dan ukuran pasar (sehingga mampu mencapai economies of scale).
Kedua, Cina menerapkan strategi Reverse Engineering atau imitasi, sehingga mengurangi biaya riset & pengembangan, serta dapat memproduksi barang yang bervariasi dalam waktu singkat. Ketiga, adanya tax free policy selama tiga tahun pertama untuk perusahaan joint venture, subsidi 13,5% dari pemerintahan lokal dalam bentuk tax refund, pinjaman bank yang hanya 3% per tahun, serta banyaknya industri pendukung sehingga industri Cina tidak perlu mengimpor barang. Mata uang yuan yang dipatok terhadap US$ membuat harga ekspor barang Cina menjadi sangat murah.
Keempat, sistem politik di Cina lebih terbuka dan tidak memberangus kritik lagi sehingga mendorong perbaikan bersinambung. Contohnya, ada pertemuan tahunan yang disebut Chinese Economists Society.
Sekarang kita lihat sisi human-social. Pertama, adanya jejaring keluarga. Pebisnis Cina bisa menekan biaya pemasaran karena menggunakan jejaring ini untuk promosi. Kedua, ada trust antarpedagang, terutama kredit yang dilandasi guanxi (hubungan). Guanxi ini tidak hanya pada keluarga, tetapi juga kesamaan asal daerah, sekolah dan persahabatan.
Ketiga, investasi luar biasa di sektor pendidikan. Pada 1998, 3,4 juta pelajar masuk ke universitas. Empat tahun kemudian, pendaftaran universitas naik 165% dan siswa Cina yang ke luar negeri naik 152%. Setelah lulus mereka kembali dan membangun negerinya. Walau awalnya hanya menjadi pabrik alih daya, karena SDM-nya sudah menguasi teknologi, tak mengherankan perusahaan Cina seperti Lenovo bisa membeli IBM Thinkpad, Huawei mengancam Cisco dan Ericsson, serta Haier mengejar GE, Whirlpool dan Maytag.
Keempat, walau upah tenaga kerja hampir sama, buruh Cina bekerja lebih efisien (Cina di peringkat 32, Indonesia di 75 dari 133 negara). Produktivitas pekerja Cina naik 6% per tahun (1978-2003). Di Cina, satu produk butuh seorang pekerja. Di Indonesia, butuh tiga pekerja. Tukang batu di Cina benar-benar tukang batu tulen sementara di Indonesia adalah petani yang menganggur.
Lantas, bagaimana mengatasinya?
Langkah awalnya adalah analisis kompetensi inti Anda. Kenali dirimu berarti harus mengetahui betul apa kompetensi inti kita yang tidak dimiliki Cina. Hati-hati: kompetensi inti tidaklah sama dengan sumber daya yang kita miliki, seperti pertambangan, perkebunan/pertanian, properti dan infrastruktur. Sektor perkebunan, misalnya, memang Indonesia memiliki luas lahan yang besar, tetapi output-nya perlu digenjot agar lebih valuable, rare, costly to imitate dan non-substitutable. Karenanya, diperlukan audit manajemen strategis oleh pihak ketiga agar Anda tahu persis kekuatan dan kelemahan yang eksis di perusahaan.
Lalu, hadapi strategi harga murah Cina dengan empat cara. Pertama, menjalankan strategi harga lebih murah dari Cina, yakni menggunakan cara cloner, imitator, adapter (yang meniadakan biaya R&D), dan relokasi pabrik. Cara kedua, meningkatkan diferensiasi seperti layanan pascajual yang lebih baik, misalnya garansi uang kembali, produk yang berdasarkan kebudayaan asli Indonesia, hassle free experience, atau spesialisasi yang memanjakan konsumen terutama di sektor jasa.
Cara ketiga, melakukan inovasi produk yang lebih murah tetapi cukup berkualitas dengan Blue Ocean Strategy. Cara keempat, menerapkan strategi positioning “ada harga ada rupa”. Produk makanan Cina dikenal berbahaya: mainan anak beracun, komestiknya mengandung merkuri, susu mengandung melamin, perhiasan imitasi Cina mengandung logam berat kadmium. Banyak yang bilang kain batik asal Cina memang murah tetapi motifnya tidak bagus, kasar, dan kainnya kalau dipakai terasa panas di badan, sedangkan kain batik di Solo motifnya cukup bagus, begitu juga kualitasnya.
Tentunya, mengenal karakteristik pembeli sangat membantu dalam penentuan strategi. Pembeli dapat dibagi menjadi tiga golongan: premium, value for money dan ekonomi. Nah, produk Cina sebenarnya lebih diterima pembeli ekonomi dan value for money.
Terakhir, perkuat gotong-royong dan tolong-menolong. Dayagunakan jalinan kekeluargaan, kedaerahan dan alumni untuk membangun social capital seperti di Cina. Selain itu, tentunya pemerintah juga harus berperan lebih aktif membantu industri dalam negeri melalui strategi nontarif seperti pengetatan seluruh Standar Nasional Indonesia, pemberian label halal, serta pendayagunaan Komite Anti-Dumping dan Komite Pengamanan Perdagangan. Juga, membatasi ekspor energi untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri, membuat kebijakan fasilitas pajak, mereformasi birokrasi dan memperbaiki infrastruktur.
Sumber :
http://swa.co.id/2010/02/strategi-menghadapi-acfta/
http://edratna.wordpress.com/2010/04/30/strategi-bank-dalam-menghadapi-acfta-mengembangkan-pembiayaan-ukm-dengan-memperkuat-manajemen-risiko/
Benar. Sebenarnya, dari dulu produk Cina yang terkenal murah sudah membuat pebisnis lokal ketar-ketir. Namun karena ACFTA, Januari ini, 83% dari 8.738 produk impor Cina bebas masuk ke pasar Indonesia tanpa dikenai bea masuk. Wajarlah terjadi kecemasan lantaran dulu pun telah membawa dampak, apalagi sekarang yang tanpa bea masuk.
Sedikit pengantar tentang latar belakang ACFTA dan pengartian ACFTA itu sendiri
Globalisasi diharapkan membawa proses sosial dan ekonomi yang alamiah, yang membawa negara dari berbagai penjuru dunia berada dalam satu ikatan yang semakin kuat untuk mewujudkan sebuah tatanan kehidupan baru, dalam kesatuan ko-eksistensi yang menghapus batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat dunia, sehingga terdapat perekonomian yang efisien dan berimbang. Dengan globalisasi, diharapkan adanya:
1. Kesamaan pandang dan prinsip: the same level of playing field: standarisasi, kompetensi, regulasi.
2. Liberalisasi dan integrasi perekonomian (borderless world).
3. Pengurangan proteksi ekonomi domestik.
4. Akses Pasar dan kerjasama terbuka luas: ACFTA (Asean-China Free Trade Agreement).
5. Peningkatan volume perdagangan produk unggulan setiap negara.
6. Benchmarking dan tuntutan stakeholder (regulator, investor, konsumen, rating agency, manajemen dan karyawan perusahaan), agar negara dan produsen mengikuti praktek terbaik dari global market.
7. Perubahan pesat bidang teknologi, sistem informasi, dan komunikasi: Perubahan pesat ini akan merubah cara berbisnis, menjadi IT driven Business, seperti: E-Banking, I-Banking, Everywhere-Banking. Adanya tekanan bagi Bank untuk menciptakan inovasi produk keuangan, seperti derivatives dan Bankassurance. Juga diperlukan kecepatan, keamanan dan kenyamanan bisnis memanfaatkan saluran elektronik (high tech dan high touch)
8. Meningkatnya systemic risks.
Terjadi kecenderungan perubahan dari Second Wave ke Third Wave (Alfin Tofler), yang dicirikan oleh:
1. Sifat organisasi : hierarchy menjadi lebih flat, mengutamakan networking, lebih fleksibel, dan organisasi diharapkan lebih mudah beradaptasi agar bisa mengikuti perubahan
2. Apa yang sebelumnya mengejar market share menjadi berupaya ke arah market creation.
3. Empowerment.
4. Kesuksesan perusahaan : visi, misi dan value. creation, gaya kepemimpinan yang visioner.
5. Kualitas produk dan layanan yang prima menjadi prioritas.
6. Orientasi karyawan: dari job security > personal growth.
7. Kekuatan perusahaan dari penumpukan cash ke penguasaan informasi.
8. Sikap karyawan dari risk aversion menjadi risk prone.
Apakah Arti ACFTA itu sendiri?
Kesepakatan pembentukan perdagangan bebas ACFTA diawali oleh kesepakatan para peserta ASEAN-China Summit di Brunei Darussalam pada November 2001. Hal tersebut diikuti dengan penandatanganan Naskah Kerangka Kerjasama Ekonomi (The Framework Agreement on A Comprehensive Economic Cooperation) oleh para peserta ASEAN-China Summit di Pnom Penh pada November 2002, dimana naskah ini menjadi landasan bagi pembentukan ACFTA dalam 10 tahun dengan suatu fleksibilitas diberikan kepada negara tertentu seperi Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam.
Pada bulan November 2004, peserta ASEAN-China Summit menandatangani Naskah Perjanjian Perdagangan Barang (The Framework Agreement on Trade in Goods) yang berlaku pada 1 Juli 2005. Berdasarkan perjanjian ini negara ASEAN 5 (Indonesia, Thailand, Singapura, Philipina, Malaysia) dan China sepakat untuk menghilangkan 90% komoditas pada tahun 2010. Untuk negara ASEAN lainnya pemberlakuan kesepakatan dapat ditunda hingga 2015. Pemberlakuan perjanjian perdagangan bebas antara ASEAN-6 dengan RR China yang dimulai pada 1 Januari 2010 membuat banyak pihak terperangah, walaupun sebetulnya kesepakatan ini telah ditandatangani lama. Masyarakat belum memahami apa manfaat, ancaman maupun konsekuensi dari pemberlakuan ACFTA ini. Namun demikian, karena ini telah disepakati, ada baiknya kita lebih mengenal dan memahami, sehingga dapat melakukan langkah-langkah strategis yang diperlukan.
Pertanyaannya: mengapa produk Cina berharga murah dan semakin bagus kualitasnya?
Kenali lawanmu dan kenali dirimu. Untuk mengenal lawan, amati sisi technical dan sisi human social-nya. Kita lihat sisi teknis. Pertama, Cina unggul di 12 faktor kompetisi bisnis (GCI Cina di 29, Indonesia di 54). Kecuali faktor efisiensi pasar barang dan jasa, Cina menang telak di faktor sistem birokrasi yang cepat-tepat, infrastruktur, stabilitas ekonomi, inovasi bisnis, efisiensi tenaga kerja dan ukuran pasar (sehingga mampu mencapai economies of scale).
Kedua, Cina menerapkan strategi Reverse Engineering atau imitasi, sehingga mengurangi biaya riset & pengembangan, serta dapat memproduksi barang yang bervariasi dalam waktu singkat. Ketiga, adanya tax free policy selama tiga tahun pertama untuk perusahaan joint venture, subsidi 13,5% dari pemerintahan lokal dalam bentuk tax refund, pinjaman bank yang hanya 3% per tahun, serta banyaknya industri pendukung sehingga industri Cina tidak perlu mengimpor barang. Mata uang yuan yang dipatok terhadap US$ membuat harga ekspor barang Cina menjadi sangat murah.
Keempat, sistem politik di Cina lebih terbuka dan tidak memberangus kritik lagi sehingga mendorong perbaikan bersinambung. Contohnya, ada pertemuan tahunan yang disebut Chinese Economists Society.
Sekarang kita lihat sisi human-social. Pertama, adanya jejaring keluarga. Pebisnis Cina bisa menekan biaya pemasaran karena menggunakan jejaring ini untuk promosi. Kedua, ada trust antarpedagang, terutama kredit yang dilandasi guanxi (hubungan). Guanxi ini tidak hanya pada keluarga, tetapi juga kesamaan asal daerah, sekolah dan persahabatan.
Ketiga, investasi luar biasa di sektor pendidikan. Pada 1998, 3,4 juta pelajar masuk ke universitas. Empat tahun kemudian, pendaftaran universitas naik 165% dan siswa Cina yang ke luar negeri naik 152%. Setelah lulus mereka kembali dan membangun negerinya. Walau awalnya hanya menjadi pabrik alih daya, karena SDM-nya sudah menguasi teknologi, tak mengherankan perusahaan Cina seperti Lenovo bisa membeli IBM Thinkpad, Huawei mengancam Cisco dan Ericsson, serta Haier mengejar GE, Whirlpool dan Maytag.
Keempat, walau upah tenaga kerja hampir sama, buruh Cina bekerja lebih efisien (Cina di peringkat 32, Indonesia di 75 dari 133 negara). Produktivitas pekerja Cina naik 6% per tahun (1978-2003). Di Cina, satu produk butuh seorang pekerja. Di Indonesia, butuh tiga pekerja. Tukang batu di Cina benar-benar tukang batu tulen sementara di Indonesia adalah petani yang menganggur.
Lantas, bagaimana mengatasinya?
Langkah awalnya adalah analisis kompetensi inti Anda. Kenali dirimu berarti harus mengetahui betul apa kompetensi inti kita yang tidak dimiliki Cina. Hati-hati: kompetensi inti tidaklah sama dengan sumber daya yang kita miliki, seperti pertambangan, perkebunan/pertanian, properti dan infrastruktur. Sektor perkebunan, misalnya, memang Indonesia memiliki luas lahan yang besar, tetapi output-nya perlu digenjot agar lebih valuable, rare, costly to imitate dan non-substitutable. Karenanya, diperlukan audit manajemen strategis oleh pihak ketiga agar Anda tahu persis kekuatan dan kelemahan yang eksis di perusahaan.
Lalu, hadapi strategi harga murah Cina dengan empat cara. Pertama, menjalankan strategi harga lebih murah dari Cina, yakni menggunakan cara cloner, imitator, adapter (yang meniadakan biaya R&D), dan relokasi pabrik. Cara kedua, meningkatkan diferensiasi seperti layanan pascajual yang lebih baik, misalnya garansi uang kembali, produk yang berdasarkan kebudayaan asli Indonesia, hassle free experience, atau spesialisasi yang memanjakan konsumen terutama di sektor jasa.
Cara ketiga, melakukan inovasi produk yang lebih murah tetapi cukup berkualitas dengan Blue Ocean Strategy. Cara keempat, menerapkan strategi positioning “ada harga ada rupa”. Produk makanan Cina dikenal berbahaya: mainan anak beracun, komestiknya mengandung merkuri, susu mengandung melamin, perhiasan imitasi Cina mengandung logam berat kadmium. Banyak yang bilang kain batik asal Cina memang murah tetapi motifnya tidak bagus, kasar, dan kainnya kalau dipakai terasa panas di badan, sedangkan kain batik di Solo motifnya cukup bagus, begitu juga kualitasnya.
Tentunya, mengenal karakteristik pembeli sangat membantu dalam penentuan strategi. Pembeli dapat dibagi menjadi tiga golongan: premium, value for money dan ekonomi. Nah, produk Cina sebenarnya lebih diterima pembeli ekonomi dan value for money.
Terakhir, perkuat gotong-royong dan tolong-menolong. Dayagunakan jalinan kekeluargaan, kedaerahan dan alumni untuk membangun social capital seperti di Cina. Selain itu, tentunya pemerintah juga harus berperan lebih aktif membantu industri dalam negeri melalui strategi nontarif seperti pengetatan seluruh Standar Nasional Indonesia, pemberian label halal, serta pendayagunaan Komite Anti-Dumping dan Komite Pengamanan Perdagangan. Juga, membatasi ekspor energi untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri, membuat kebijakan fasilitas pajak, mereformasi birokrasi dan memperbaiki infrastruktur.
Sumber :
http://swa.co.id/2010/02/strategi-menghadapi-acfta/
http://edratna.wordpress.com/2010/04/30/strategi-bank-dalam-menghadapi-acfta-mengembangkan-pembiayaan-ukm-dengan-memperkuat-manajemen-risiko/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar